Wild.Adventure -- Sebab nyawa tidak dijual di toko outdoor terdekat.
Banyaknya perfilman yang mengambil dunia pendakian, atau setting di gunung-gunung Indonesia, membuat para netizen banyak yang mulai menggandrungi dunia tersebut. Entah dikarenakan hoby, atau mulai ada yang ikutan trend, bahkan meraka banyak yang tidak tahu menahu tentang hal tersebut, sehingga kurangnya prihatian menyebabkan korban berjatuhan setiap tahunya.
Seperti halnya hilang di jurang, hipotermia, atau bahkan tertimpa batu di Semeru pada tahun 2015 yang lalu. Perfilman juga tidak bisa disalahkan sebagai penyebab maraknya pendakian. Sebab pada dasarnya tergantung bagaimana setiap individu menyikapinya hal tersebut. Yang terekam dibenak orang, seolah-olah mendaki gunung itu adalah hal yang mudah.
Miftkhur Rizky, mahasiswa asal Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, yang biasa dipanggil Bara, adalah salah satu mahasiswa yang memiliki hobi hiking. Atas berbagai peristiwa itu dia merasa amat prihatin.
Tak hanya prihatin, namun tiap kali dia melakukan pendakian, dia sering menegur teman sependakiannya untuk mengingatkan tentang prosedur pendakian yang benar. Tentu saja, dengan hanya menegur tidak cukup, dia ingin sekali membuat tempat Adventure Consultant di mana di tempat tersebut siapa saja yang ingin mendalami kegiatan alam, bisa memperhatikan apa saja yang harus dilakukan.
Mahasiswa kelahiran Surabaya itu sebenarnya tidak nyaman dengan maraknya pendaki, apalagi ketika musim-musim hari libur. “Namun saya juga sama sekali tidak ada hak untuk menghalangi setiap orang yang ingin belajar mencintai bumi pertiwi," kata Bara.
Tapi dia menyayangkan pendaki yang mengabaikan prosedur-prosedur pendakian. Mereka masih mengenakan celana jeans, menggunakan sepatu biasa, tidak membawa pembekalan yang mencukupi, kurangnya persiapan mental dan fisik. "Dan yang paling membuat saya geram adalah mereka acapkali membuang sampah sembarangan," lanjut mahasiswa semester 2 ini.
Prosedur pendakian yang tepat
Persiapan alat terbilang sangat penting bagi seorang pendaki, khusunya pemula maupun senior. Dimulai dari sepatu yang dipakai. Sepatu yang baik adalah di atas mata kaki, karena yang sering rawan terjadi adalah sakit di pergelangan engkel. Sandal tidak di anjurkan untuk perjalanan mendaki karena sandal tidak melindungi sepenuhnya terhadap keselamatan kaki.
Selanjutnya tas atau ransel, harus disesuaikan dengan tinggi badan. Beban yang dibawa pun harus sepertiga dari berat tubuh. Penggunaan kaus kaki, apabila memang gunung yang akan kita daki bersuhu minus, maka diperlukan kaus kaki yang tebal agar tetap hangat.
Bawa perbekalan makanan yang cukup hingga pulang, terlebih lagi banyak yang teledor dalam pembawaan bekalan, sehingga saat tersesat pun, tidak ada cadangan makan lagi. Pada akhirnya nyawa taruhannya. Dunia petualangan tidak lepas dari taruhan nyawa, maka sangat disayangkan bagi para pendaki yang tidak memperhatikan hal-hal tersebut.
Selanjutnya persiapan mental dan fisik. “Menyelaraskan diri kita dengan alam, nafas alam adalah nafas kita, gerak alam adalah gerak kita. Jangan dibalik, nafas kita nafas alam, gerak kita gerak alam,” kata Bara.
Menurutnya mendapatkan izin dari orang tua adalah hal yang paling utama. Selanjutnya mendapatkan izin dari pengelola gunung itu sendiri. Kejadian tersesatnya para pendaki seringkali dikarenakan tak ada izin dari pengurus gunung itu sendiri.
“Memperhatikan alat-alat yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi alam gunung yang didaki, tidak menyalahi aturan dan menghormati kearifan lokal di sana, seperti mitos-mitos meskipun kita tidak mempercayainya, alangkah baiknya kita menghormati kepercayaan di sana,” kata Bara.
Sebagai mahasiswa baru, Bara menjalani pendakian pertamanya pada 23 April 2016. Baginya petualang adalah meninggalkan zona nyaman. "Kita berdiri di antara titik aman dan hal-hal yang tak terduga. Dengan begitu petualangan menjanjikan hal-hal baru untuk kita rasakan, tak selalu menyenangkan memang, tapi setiap cerita selalu tergantung bagaimana kita melihatnya," ucapnya. "Kita hanya mempunyai beberapa pilihan, mengikuti arus atau menjadi apatis, tapi saya lebih memilih menjadi manusia bebas," kata Bara lagi, mengutip Soe Hok Gie.
Lelaki yang sudah berkali-kali mendaki gunung ini, memiliki mimpi yang sangat sederhana, yaitu, “Semoga semua pendaki sadar kawasan dan menjaga alam untuk anak cucunya nanti.”
Mendaki gunung bukan sembarangan hobi, perlu diperhatikan hal-hal mengenai keselamatan pada diri kita sendiri, dan tentunya tidak ada toko yang menjual nyawa kita. Artinya keselamatan adalah hal utama setiap kegiatan terutama luar. (ded/ded)
sumber: student.cnnindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar